Lintas News-Terindikasi ada dugaan “pesanan”, Ketua Majelis Hakim Kasus Asabri, Ignatius Eko Purwanto harus diganti dan dikocok ulang. Hal ini supaya persidangan kasus Asabri berjalan transparan fair dan adil.
Demikian salah satu kesimpulan hasil perbincangan awak media dengan Aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti. Ya, skandal megakorupsi Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) menjadi pusat perhatian publik.
Hal itu dikarenakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kerugian uang negara yang sangat fantastis di kasus Asabri ini. Dalam kurun waktu 2012-2019, kerugian uang negara sungguh mencengangkan yaitu Rp 22,78 triliun.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari skandal perusahaan plat merah (BUMN) lainnya Jiwasraya yang menelan kerugian negara sebesar Rp 16,70 triliun. Dari catatan redaksi, ada beberapa keanehan dan keganjilan dalam kasus megakorupsi Asabri ini. Apa saja keanehannya?
Di antaranya, BPK mengungkap kerugian negara Rp 22,78 triliun, sedangkan faktanya Asabri hanya memiliki aset sebesar Rp 13 triliun. Dari hal tersebut pun muncul beberapa pertanyaan yang diungkap redaksi.
Pertama, dari mana dana Rp 22,78 triliun itu dan ke mana aliran dana tersebut? Kedua, apakah kasus Asabri hanyalah skenario yang diciptakan elit politik?
Ketiga, mungkinkah kasus Asabri hanyalah dendam politik yang menumbalkan para terdakwa? Keempat, siapa aktor intelektual di balik kasus megakorupsi Asabri?
Kelima, apakah dana Asabri ada kaitannya dengan dana kampanye Pilpres 2019? Keenam, formasi majelis hakim yang menyidangkan kasus Asabri sama dengan kasus Jiwasraya (anggota majelis hakim Rosmina, Saiful Zuhri, Ali Mutharom, Mulyono Dwi Purwanto dan Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto).
Ada apa ini? Apakah sidang ini pesanan? Apakah ada indikasi Ketua Majelis Hakim Kasus Asabri Ignatius Eko Purwanto menerima “pesanan” Asabri?
Lalu, redaksi menilai, ada kesan majelis hakim tendensius dan arogan kepada terdakwa dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak terdakwa dan pengacara hukumnya untuk mengungkap fakta di persidangan. Bahkan, terkesan ada intimidasi terhadap salah satu terdakwa Benny Tjokro agar tidak “bernyanyi” dan mengungkap fakta lebih jauh.
Untuk diketahui, ada sembilan terdakwa dalam kasus Asabri ini. Lima dari intenal Asabri. Mereka adalah Mayjen (Purn.) Adam Rachmat Damiri dan Letjen (Purn.) Sonny Widjaja, keduanya merupakan mantan direktur utama Asabri.
Lalu, Bachtiar Effendi dan Hari Setianto. Keduanya merupakan mantan direktur investasi dan keuangan Asabri. Serta, Ilham W. Siregar (mantan kepala divisi investasi Asabri, meninggal sebelum sidang).
Kemudian, empat terdakwa dari eksternal Asabri (swasta) adalah Komisaris PT Hanson International: Benny Tjokrosaputro, Komisaris PT Trada Alam Minera: Heru Hidayat. Lalu, Direktur Utama PT Prima Jaringan: Lukman Purnomosidi dan Direktur Jakarta Emiten Investor Relation: Jimmy Sutopo.
Untuk Benny Tjokro maupun Heru Hidayat, keduanya merupakan tersangka dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Menanggapi hal ini, publik pun menginginkan agar majelis hakim dikocok ulang, jangan sampai sama.
Hal itu dikarenakan ada dugaan pesanan dan mafia hukum dalam persidangan kasus korupsi tersebut. “Majelis hakim yang menyidangkan kasus Asabri jangan sama dong dengan yang menyidangkan kasus Jiwasraya. Harus kocok ulang majelis hakimnya. Ketua dan anggota harus diganti. Supaya tidak ada pesanan,” kata Aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti yang diwawancarai langsung oleh Ketua Forum Wartawan Peduli Jakarta (FWPJ), Agus Supriyanto via sambungan telpon, Rabu (29/9/2021).
Aktivis yang juga eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 UGM Yogyakarta ini menegaskan, dalam sidang kasus megakorupsi Asabri, ada dugaan pesanan (mafia hukum) kalau majelis hakimnya di-setting sama dengan Jiwasraya. “Itu ada dugaan mafia hukum untuk mengarahkan sesuai pesanan. Enggak boleh seperti itu,” tandasnya.
Saat ditanya, apakah hakim dibenarkan tendensius dan arogan serta melakukan intimidasi kepada terdakwa seperti ke terdakwa Benny Tjokro? Haris menjawab sangat tidak boleh.
“Majelis hakim harus fair. Jangan mengintimadasi. Biarkan terdakwa mengungkap fakta di persidangan,” cetusnya.
Haris pun meminta agar aparat penegak hukum mengungkap aktor intelektual di belakang kasus korupsi Asabri ini. “Aktor intelektualnya harus diungkap. Ini ada konspirasi pelaku. Hakim dan jaksa harus bongkar itu semua dan jangan sampai main mata dalam mengungkap kasus ini,” pintanya.
Kata dia, mustahil untuk kasus kejahatan korupsi kelas kakap seperti ini tidak ada oknum pejabat. “Pasti ada oknum pejabat-pejabat yang terlibat. Ini kasus kakap puluhan triliun. Makanya, PPATK dibuka, dong ke mana saja aliran dana tersebut, harus dibongkar,” tegasnya.
Bahkan, ucap Haris, dalam pledoinya, Benny Tjokro mengatakan ada konspirasi untuk melindungi pihak-pihak tertentu yang justru lebih bertanggung jawab atas kerugian negara dalam korupsi Jiwasraya. “Sama saja Asabri juga seperti itu,” imbuhnya.
Selain Benny Tjokro, sejumlah aktor serta perusahaan sekuritas dan manager investasi telah jadi “sampah masyarakat”. “Mereka jadi terhukum perampokan dana Jiwasraya dan ASABRI. Namun, pertanyaannya, masa sih hanya mereka saja yang menikmati puluhan triliunan aliran dana Jiwasraya dan Asabri? Kenapa puluhan penikmat aliran dana Jiwasraya dan Asabri, individu dan institusi tidak ditersangkakan? Kenapa hanya segilintir perusahaan sekuritas dan manager investasi yg ditersangkakan?” tanyanya.
Memang, sambungnya, perusahaan sekuritas dan manager investasi (MI) seringkali dipakai sebagai alat untuk kejahatan. “Perlu dipisahkan MI yang profesional dengan MI yang dipakai alat kejahatan. Praktik seperti ini terjadi dalam perampokan Jiwasraya, Asabri, Dapen Pertamina, BPJS Tenaga Kerja dan Jamsostek. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, kami menduga Kejaksaan Agung melakukan ‘hengki pengki’ dengan penikmat triliunan aliran dana perampokan Jiwasraya/Asabri. Kenapa Kejaksaan Agung tidak menindaklanjuti informasi yg disampaikan oleh Benny Tjokro dalam BAP maupun pledoinya?
Pertanyaan lainnya, dalam BAP-nya Benny Tjokro mengatakan salah satu Wakil Ketua BPK inisial AJP terlibat dalam mengarahkan proses penyidikan diduga melokalisir kasus untuk tujuan melindungi banyak pihak yang diduga turut menikmati aliran duit perampokan Jiwasraya dan Asabri. Hakim dan jaksa harus berani memeriksa dan mengungkapnya,” kata dia.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi ikut menyoroti kasus megakorupsi Asabri ini. “Kalau memang BPK menyatakan kerugiannya Rp 22,78 triliun, maka harus ditelusuri mendalam. Karena, ada keanehan, aset Asabri Rp 16,70 triliun, kok kerugian bisa mencapai Rp 22,78 triliun. Logikanya di mana? PPTAK harus cermat dan meneliti serta menelusuri mendalam aliran dana ini ke mana sampai tuntas,” pintanya.
Uchok pun me-warning kepada majelis hakim agar benar-benar adil dalam memutus perkara kasus ini dengan melihat fakta-fakta persidangan. “Hakim harus adil dan transparan. Dan kejagung juga jangan pilih-pilih, harus dibongkar semua siapa saja yang bermain dalam kasus Asabri ini,” tandasnya.
Aktivis yang getol memelototi anggaran di instansi pemerintah dan lainnya ini pun meminta pada hakim agar jangan menumbalkan para terdakwa untuk melindungi aktor intelektual atau pihak-pihak yang belum tersentuh hukum dalam kasus ini. “Apalagi hanya dendam politik dengan menumbalkan para terdakwa. Jangan sampai seperti itu,” tukasnya.
Ketika ditanya apakah kasus Asabri ini hanyalah skenario yang diciptakan elit politik dan apakah dana Asabri ada kaitannya dengan dana Pilpres 2019? Uchok mengatakan, hal itu sangat mungkin terjadi.
“Yang namanya korupsi besar dan kakap seperti ini pasti ada dugaan kuat mengarah ke sana aliran dananya (parpol). Ini yang harus dibongkar. Enggak mungkin dana puluhan triliun enggak melibatkan orang-orang kuat atau pejabat. Hakim, jaksa harus berani membongkar ini. Dan majelis hakim jangan sampai diintervensi pihak-pihak tertentu untuk melindungi mereka,” cetusnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pun ikut mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut tuntas semua pihak yang terlibat kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asabri pada beberapa perusahaan periode tahun 2012-2019.
Menurut politisi NasDem itu, para tersangka kasus Asabri tersebut diduga hanyalah sosok kecil, bukan merupakan aktor intelektual alias kelas kakap dalam skandal kasus megakorupsi tersebut.
“Harus dikejar mereka. Pasti dapat (aktor intelektual dan aktor kakap). Ini kan masih berproses di Kejagung,” ucap Sahroni.
Politisi asal DKI Jakarta ini pun mendorong penyidik Kejagung untuk terus melakukan pengembangan atas kasus tersebut. Para tersangka baru haruslah menjadi pintu masuk dalam mengungkap aktor intelektual penyelewengan dana Asabri.
Kejagung diharapkan dapat proporsional dan transparan. Termasuk dalam mengusut orang dekat para tersangka yang diduga ikut menggoreng permainan saham.
“Siapa pun itu, semua yang terlibat harus diproses,” pinta Sahroni.
Sementara itu, majelis hakim pengadilan kasus korupsi, dan pencucian uang (TPPU) PT Asabari menegaskan, para pihak berperkara dalam kasus tersebut untuk tidak coba-coba melakukan pendekatan, dan intervensi terhadap majelis hakim di dalam, maupun di luar persidangan. Ketua majelis hakim, Ignatius Eko Purwanto menegaskan, segala keputusan dari majelis hakim terkait proses persidangan kasus tersebut, adalah murni atas dasar independensi dari para pengadil.
“Ini perlu kami (majelis hakim) tegaskan, supaya tidak ada bayangan, anggapan bahwa majelis hakimnya begini-begitu. Tidak. Majelis hakim di sini, clean (bersih). Kami tidak menerima apapun. Tidak mendapatkan intervensi apapun untuk memproses, dan memutuskan perkara ini,” ucap Eko Purwanto, dalam sidang lanjutan kasus Asabri, di PN Tipikor, Jakarta, Senin lalu (6/9/2021).
Hakim Eko menegaskan, segala bentuk upaya pendekatan, pemberian sesuatu, dan aksi-aksi intervensi yang bakal memengaruhi independensi hakim, akan berurusan dengan hukum, dan penghakiman. “Ketika perkara ini harus terbukti, ya terbukti kalau tidak (terbukti), ya tidak. Jadi seperti itu. Sehingga jangan sampai nanti, kemudian ada anggapan-anggapan miring, terhadap majelis hakim. Ini perlu saya tekankan di sini (persidangan),” papar hakim Eko.
Majelis hakim tidak menjelaskan lengkap terkait pernyataan tersebut. Ia juga tidak memerinci dugaan adanya pihak-pihak berperkara dalam kasus Asabri yang mencoba memberikan sesuatu, atau pun mendekati para hakim untuk merusak independensi para pengadil.
Pernyataan hakim Eko ini, sebetulnya bukan kali pertama ia utarakan. Sejak sidang perdana kasus Asabri digelar pada Senin lalu (16/8/2021), majelis hakim sudah mengingatkan hal yang serupa. Pada sidang pekan ke-4, pembacaan putusan sela, Senin (6/9/2021), hakim Eko, selaku ketua pengadil, kembali mengingatkan hal yang sama terhadap para pihak yang berperkara dalam kasus Asabri tersebut. “Yang perlu kami tegaskan, dari majelis hakim di sini, adalah bahwa apapun keputusan majelis hakim dalam perkara ini, baik putusan terhadap eksepsi, yang sudah dibacakan, atau pun tindakan-tindakan berikutnya, penetapan dan lain sebagainya, oleh majelis hakim di sini, majelis hakim tidak berdasarkan atas adanya satu intervensi, ataupun pemberian, ataupun apapun juga bentuknya,” kata hakim Eko.
Sebagaimana diketahui, persidangan kasus dugaan korupsi PT Asabri diwarnai kericuhan dan memicu kemarahan majelis hakim. Sebab, para terdakwa menolak disidangkan secara bersamaan.
Mereka beralasan karena tempus perkara dan peran para terdakwa yang berbeda-beda sehingga dianggap tidak efektif dan akan mengaburkan peran masing-masing. Seperti yang disampaikan Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro yaitu Fajar Gora bahwa hak para terdakwa tidak ingin disidangkan secara bersamaan.
Ia pun mengungkap alasan-alasan keberatan kliennya jika disidangkan bersama-sama.
“Nomor perkara dari 8 terdakwa tersebut kan berbeda. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda,” kata Fajar ditulis Jumat (17/9/2021).
Persidangan Asabri, adalah penghakiman terkait dugaan korupsi, dan TPPU dengan angka kerugian negara terbesar dalam catatan kasus rasuah di pengadilan Indonesia. Kasus ini, dalam pendakwaan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Dalam kasus tersebut terungkap adanya dugaan kerugian negara senilai Rp 22,78 triliun pada pembukuan Asabri 2012-2019. Jampidsus, menyeret delapan dari sembilan tersangka ke pendakwaan di PN Tipikor. (AGS)