LINTASNEWS – Penambahan fungsi Bandara Kertajati di Kabupaten Majalengka sebagai bengkel pesawat atau MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul) dipandang belum tentu berhasil. Sederetan tantangan dihadapi bandara yang proses pembangunannya menelan biaya sampai Rp2,6 triliun ini.
Pengamat bisnis penerbangan, Alvin Lie, mengatakan bisa saja bengkel pesawat atau MRO Center menjadi alternatif pemanfaatan sebuah lapangan terbang dengan utilisasi rendah, seperti halnya Bandara Kertajati.
Tapi Alvin menilai, bila hendak membenahi Kertajati, langkah yang dilakukan harus berjangka panjang, bahkan tak cukup hanya dalam waktu 5 tahun. Itu pun belum tentu dapat menguntungkan.
“Untuk mengubah kondisi Kertajati diperlukan juga pembangunan lingkungan Kertajati sehingga lebih hidup. Baru nanti ada daya tariknya,” tutur Alvin, seperti yang dikutip Ayocirebon.com (1/4).
Alvin menyarankan masing-masing pemerintah mengesampingkan ego, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, khususnya provinsi. Sebab, untuk menjadikan Bandara Kertajati sebagai MRO, tantangan tidak sedikit. Terlebih, penambahan fungsi sebagai bengkel pesawat ini juga melibatkan GMF AeroAsia.
Dia mengungkapkan, GMF AeroAsia sudah berinvestasi besar-besaran di Bandara Soekarno-Hatta. Perusahaan ini telah membuat hanggar terbesar di Asia untuk perawatan pesawat.
“Untuk mereka pindah (dari Soekarno-Hatta ke Kertajati), tentu perlu pertimbangan bisnis, biaya-biaya dan investasi yang diperlukan lagi, kemudian yang di Soekarno Hatta itu nanti akan digunakan apa,” katanya.
Bila hanggar di Bandara Soekarno-Hatta digunakan oleh perusahaan MRO lainnya, Alvin melihat kemungkinan terjadi persaingan atau muncul rival bagi GMF AeroAsia.
Di sisi lain, perwujudan MRO juga memerlukan fasilitas pendukung. Dia mengingatkan, para pekerja bengkel pesawat, seperti halnya teknisi maupun tenaga administrasi merupakan orang-orang berketerampilan tinggi/spesialis. “Mereka juga menginginkan kehidupan yang layak, tak hanya gaji,” ujarnya.
Kehidupan layak meliputi pula kebutuhan bagi istri dan anak-anak mereka. Alvin menggambarkan, dalam kehidupannya, mereka setidaknya memerlukan sekolah, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan dengan minimal berstandar nasional, perbankan, tempat belanja, hingga tempat hiburan.
Sejauh ini, Alvin melihat Kertajati belum didukung fasilitas-fasilitas yang dimaksud tai. Tanpa fasilitas pendukung bagi tenaga ahli bengkel pesawat maupun keluarganya, tidak akan mudah mendatangkan mereka ke Kertajati.
Tantangan lainnya yakni seputar kehadiran bea cukai dan imigrasi yang umumnya diperlukan MRO Center. Sebagai kawasan berikat, MRO Center membutuhkan kemudahan impor barang-barang atau suku cadang yang bebas biaya masuk. “Sehingga ada prosedur-prosedur kepabeanan,” ujat Alvin.
Belum lagi bila ada pilot-pilot asing yang membawa pesawat untuk diperbaiki atau untuk perawatan. Seluruhnya membutuhkan dukungan-dukungan tersebut.
Dengan kata lain, penambahan fungsi sebagai bengkel pesawat, tak hanya memanfaatkan lapangan terbang atau bandaranya. Fasilitas pendukung perlu pula disiapkan sebagai nilai tambah kepada daerah di kawasan sekitar Kertajati, bila dapat diwujudkan.
Secara keseluruhan, kondisi Kertajati dinilainya sangat parah. Tidak ada obat yang secara instan dapat menyembuhkannya.
Alvin menilai Bandara Kertajati tak pernah mencapai fungsi awalnya yang melayani penerbangan komersil. Dia bahkan meramalkannya akan sulit terwujud.
“Fungsi awal dari Bandara Kertajati memang tak pernah tercapai dan rasa-rasanya akan sangat sulit terwujud karena pemilihan lokasi bandara tak memenuhi syarat,” ungkap Alvin.
Begitu pula dengan fungsi bandara untuk pemberangkatan haji dan umroh. Dalam setahun, pemberangkatan haji hanya satu kali dan selebihnya hanya untuk umroh.
Untuk pemberangkatan jamaah umroh, kata Alvin, yang juga perlu dipertimbangkan adalah jumlah jamaah dari Jawa Barat dalam 1 tahun. Itu pun harus diamati, warga Jabar bagian mana yang jumlah jamaahnya paling banyak.
“Kalau yang di Cirebon-Majalengka (sekitarnya) itu mungkin dekat. Tapi warga di bagian barat Jabar justru tidak praktis kalau harus datang ke Bandara Kertajati,” tuturnya.
Di wilayah Kertajati sendiri belum ada fasilitas-fasilitas pendukung, seperti asrama haji, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain, maupun multimodanya belum terbangun.
Alvin menambahkan, semestinya Bandara Kertajati dibangun dekat dengan industri atau pasar industri ini, semisal industri manufaktur atau pusat perdagangan. Alih-alih mendekati pasarnya, bandara ini justru dibangun jauh dari populasi maupun industri, termasuk pula pariwisata.
“Jadi memang agak sulit. Dialihfungsikan sebagai bengkel pesawat belum tentu juga berhasil,” ujarnya.