Lintas News-Orang tua siswa sekaligus kaum akademisi setuju dengan uji coba sekolah tatap muka di masa pandemi Covid-19 asalkan memenuhi beberapa syarat. Uji coba sekolah tatap muka tidak masalah selama hasilnya bagus.
Namun, bila hasilnya tidak bagus, maka lebih baik dievaluasi dan dihentikan sementara uji coba sekolah tatap muka tersebut. Demikian kesimpulan hasil wawancara Radar Tangsel.Com (Grup Lintas News.Co. Id) dengan seorang akademisi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) sekaligus juga orang tua siswa, Dr. Wiwik Sri Widiarty, S. H., M. H.
“Uji coba dulu (sekolah tatap muka). Kalau bagus, lanjut. Tetapi, kalau, hasilnya tidak bagus, ya harus dievaluasi total dan dihentikan sementara,” ujar Wiwik pada Radar Tangsel.Com, Rabu (9/6/2021) melalui sambungan telepon.
Sebagaimana diketahui, di masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah berencana melakukan uji coba sekolah tatap muka dengan ketentuan siswa yang hadir adalah 25 persen (sebelumnya 50 persen). Dan, dalam sepekan, sekolah tatap muka tersebut tidak boleh lebih dari 2 hari dengan tetap memperhatikan standar prokes (protokol kesehatan).
Kembali ke Wiwik, wanita pendidik yang juga biasa disapa Dewi ini mengatakan, harus diakui, pemerintah saat ini memang serba dilematis. Di satu sisi, ucapnya, membuka sekolah tatap muka memang memiliki risiko.
“Risikonya, kalau nanti ada siswa yang terpapar Covid-19 saat tatap muka, maka ya harus dihentikan agar tidak menjalar ke siswa lainnya,” terang dosen Fakultas Hukum UKI ini.
Namun demikian, di sisi lain, jelas Dewi, kalau siswa terlalu lama belajar daring (dalam jaringan) di rumah atau jarak jauh, maka efeknya pun tidak bagus. “Anak-anak jadi banyak main gadget, kurang gerak, bosan, ada yang mengatakan juga belajar daring itu kualitasnya tidak bagus,” paparnya.
Diuraikan dosen pascasarjana UKI ini, kalau pemerintah ingin memberlakukan uji coba sekolah tatap muka, maka pihak sekolah harus meminta izin pada orang tua siswa. “Apakah orang tua siswa mengizinkan atau tidak anaknya sekolah tatap muka, pihak sekolah harus minta izin. Maka harus ada surat persetujuan dari orang tua terkait hal ini. Terutama, anak-anak yang punya penyakit bawaan, harus ekstrahati-hati,” tegasnya.
Sambung Dewi, kalau orang tua siswa tidak mengizinkan, maka hal itu harus dihargai juga. “Karena, bagaimana pun, yang namanya orang tua pasti ada rasa worried (cemas) dan khawatir. Saya sebagai pendidik dan sekaligus orang tua yang mempunyai anak SMA, juga ada rasa worried itu meski tatap muka hanya 2 kali atau 3 kali dalam seminggu, misalnya,” cetus wanita akademisi ini.
Kekhawatiran itu, ungkap dosen program doktor hukum UKI ini, sangat beralasan. “Ya pertama karena namanya anak-anak itu kan kadang harus selalu diingatkan. Takutnya, prokes diabaikan, mereka masih bersentuhan dengan teman-temannya kalau sudah bersama-sama, jadi kadang suka lupa mereka meski pihak sekolah sudah menerapkan prokes,” tukasnya.
Kedua, terang Dewi, anak-anak sekolah itu masih di bawah 18 tahun, belum divaksin dan rentan terjangkit Covid-19. Ketiga, terang Dewi, Indonesia saat ini bukan berkurang kasus Covid-19-nya, melainkan malah naik atau bertambah setelah liburan lebaran.
“Saya juga paham kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah menerapkan ‘lockdown’, maka roda perekonomian akan terambat karena banyak yang tidak bisa buka usahanya dan otomatis penghasilan terganggu,” imbuhnya.
Memang, sudah tepat, menurut Dewi apa yang dilakukan pemerintah dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro mulai 1 Juni sampai 14 Juni 2021 di seluruh Indonesia. “Jadi, PPKM mikro skala kecil sudah tepat ya di tempat-tempat tertentu zona merah untuk menekan laju pertumbuhan kasus Covid-19,” terang Dewi.
Langkah itu tepat dikarenakan, kata dia, masyarakat saat ini sudah lalai. “Yang saya lihat, aktivitas masyakat di luar sana itu seperti tidak ada pandemi Covid-19, seperti normal saja. Jadi, tidak ada lagi rasa takut, dianggap biasa saja sehingga masyarakat lupa dan abai. Lalai dan abai ini bisa menyebabkan klaster baru di keluarga lingkungan dan lainnya sehingga membuat pemerintah ekstrakerja keras lagi mengatasi pandemi,” papar Dewi.
Nah, untuk dunia pendidikan, sebut Dewi, alangkah baiknya sebenarnya sekolah menyiapkan dua fasilitas. “Yaitu, tatap muka dan zoomiing (daring). Dikombinasikan saja daring dan offline (tatap muka), ya, itu tidak masalah,” ucapnya.
Memang, dijelaskan Dewi, kalau tatap muka, pihak sekolah harus siap di antaranya, apakah sudah divaksin semua guru dan petugas sekolahnya. “Prasarana dan sarana sekolah harus disterilisasi rutin dan penerapan prokes harus benar-benar konsisten,” tegasnya.
Ada plusnya memang belajar tatap muka di sekolah, ujarnya.
“Kalau tatap muka, plusnya, siswa dapat berinteraksi langsung dengan guru dan leluasa. Lalu, bukan hanya prokes, melainkan juga bisa untuk mengedukasi. Bisa disisipkan edukasi kesehatan bahayanya Covid 19 di tengah-tengah pelajaran sekolah
Yang penting, sambung Dewi,
harus dipikirkan benar-benar jika sekolah tatap muka diterapkan. “Jangan sampai ada yang terpapar Covid-19, baru lockdown,” tandasnya.
Sebenarnya, kata Dewi, tidak ada salahnya, pemerintah melakukan survei ke para siswa. “Harus ada survei dari pemerintah terhadap anak-anak sekolah, apakah setuju daring atau tatap muka. Jadi, tidak hanya orang tuanya yang disurvei melalui pengisian form surat persetujuan,” jelasnya. (AGS)

















